MELAWAN COVID 19 ITU, MELAWAN DIRI SENDIRI

(Sumber Foto : Untad.ac.id/Ist)

Oleh : Dr. Ir. Muh. Nur Sangadji, DEA.

Hingga kini, kita terus berupaya melawan virus. Menjadikannya  musuh bersama (common anemy). Kita telah menggempurnya habis-habisan. Tapi, faktanya kita tatap kalah.  Angka korban di pihak manusia kian bertambah fluktuatif.  Ada saatnya turun. Kemudian, naik lagi. Kini, kurvanya malah menanjak terus. Tidak ada yang tahu, berapa korban di pihak virus. Sebab, dia makhluk halus (mikroorganisme).

Semua ikhtiar sudah ditawarkan. “Lockdown”, “Stay at home”, PSBB, dan terakhir “New Normal”. Tapi, yang selalu ramai adalah keseringan kita untuk saling berdebat. Tentang apa (ontologi),  mengapa (epistemologi) dan bagaimana (tindakan aksiologi).

Saya lalu berfikir, mungkin saatnya kita menyadari, bahwa musuh kita sesungguhnya bukan lagi virus tersebut. Tapi, diri kita sendiri. Virus itu, makhluk yang punya hak untuk hidup di alam. Tuhan menghadirkannya di luar kendali manusia. Barangkali, tujuannya untuk memperbaiki perilaku. Dia yang berfirman, tiada makhluk yang diciptakannya sia-sia.

Mengapa di luar kendali ? Karena hingga kini, kita belum temukan bahan yang bernama vaksin. Saat ini, mulai ramai bermunculan produk vaksinnya. Sama ramainya dengan keraguan terhadapnya.

Kalau begitu, pilihannya tinggal satu. Berjuang secara total. Dan ini, haruslah dimulai dari diri individu. Dengan kata lain, setiap orang harus  menyediakan dirinya untuk berjuang.

Rasul ingatkan, mulailah dari diri sendiri (ibda bi nafsik). Boleh jadi hanya seorang diri. Namun, bila ada niat dengan spirit pengorbanan untuk menyelamatkan orang banyak. Insya Allah kita ikhlas. Mencuci tangan dan memakai masker adalah wujud konkritnya.

Tahun 2018 lalu, saya bersama istri dan anak berfoto di kaki gambarnya Wilson Churchill di kota London. Beliau adalah perdana menteri di masa perang dunia II.  Dia yang menghembuskan kata-kata ini, untuk menyemangati individu prajurit Inggeris di medan perang.  “We are figting by our self, but we are not figting for our self”.

Wilson bilang, kita memang berjuang sendiri. Tapi, kita tidak berjuang untuk diri kita sendiri. Sayang semangat yang begini, begitu berat di wujudkan menghadapi Covid ini. Susah sekali orang mendisiplinkan diri sendiri.

Bila “stay at home” itu berat karena mengganggu ekonomi Keluarga. Mestinya, keluar rumah dengan standar covid 19, adalah pilihan jalan tengah di tengah risiko. Nyatanya, tidak semua orang peduli dan tunduk. Padahal, dengan itu saja, kita telah menjadi pahlawan. Karena, ikut menyelamatkan orang banyak. Persoalannya, ada di proses komunikasi,  ego individu, kebiasaan dan pengorbanan.

Awal merebaknya virus ini, orang membutuhkan dokter dan atau ahli mikro organisme (virologi). Kemudian, ahli ekonomi untuk melihat dampak pada produktivitas, pendapatan, daya beli dan seterusnya.  Akan tetapi saat ini, yang dibutuhkan adalah ahli komunikasi dan penyuluhan. Ahli kebijakan publik. Ahli psikologi, pendidikan dan sejenisnya. Ini soal efektivitas komunikasi dan kepatuhan warga.

Kepatuhan (obedient) butuh kesadaran individu (individual awareness). Kebalikannya, “disobedience” yang kini banyak menggejala. Kesadaran individu ini akan membentuk kekompakan kolektif  (togetherness).

Untuk sampai ke sini. Kita terlebih dahulu, harus berperang melawan diri  sendiri. Inilah tindakan aksiologi yang sangat dibutuhkan saat ini. Mungkin, kalau kita menang.  Kita bakal bisa mengalahkan virus Covid 19 ini.

Wallahu a’lam bi syawab.

Penulis adalah Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako.