Opini  

Media Pers dan Media Sosial Rebutan Perhatian Publik

Media Pers dan Media Sosial Rebutan Perhatian Publik
Rony Sandhi / salah satu peggiat jurnalis di Kota Palu

Media Pers dan Media Sosial Rebutan Perhatian Publik

DI era digital internet media yang semakin masif saat ini, semua orang dengan mudahnya bisa membuat media, media sosial maupun media pers online.

Kecepatan informasi membuat publik terasa termanjakan dengan banjir informasi yang dengan mudah diakses melalui berbagai platform media sosial, website maupun postingan-postingan netizen di media sosial masing-masing.

Belum lama ini saya mengikuti pelatihan yang dilaksanakan Badan Penjamin Mutu Pendidikan (BPMP) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), selama dua hari di salah satu cafe dengan konsep ruang kerja yang nyaman.

Saya bersama Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulteng, Moh Iqbal diundang sebagai peserta ekstenal dari peserta lainnya yang mewakili jurnalis yang mungkin dianggap aktif sebagai penggiat jurnalis khususnya jurnalis online, menulis, podcast, official media sosial media pers dan admin media sosial Instagram @anakuntad.com yang dianggap selama konsen pada informasi pendidikan.

Peserta pelatihan lainnya adalah pegawai di bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (PDM) BPMP Sulteng.

Selama dua hari mengikuti pelatihan, saya, ketua AMSI dan admin Instagram @anakuntad.com menjadi peserta yang dimintai pendapatan atau pengalaman dari setiap materi yang diberikan.

Peserta yang merupakan pegawai di bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (PDM) BPMP Sulteng dilatih mulai bagaimana membuat narasi seperti membuat laporan jurnalisme, membuat konten media sosial yang nantinya kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan bisa menarik dibaca, dilihat dan ditonton masyarakat, seperti halnya yang diproduksi oleh media pers dan akun Medsos yang postingannya banyak dilihat, sehingga pesan yang diinginkan sampai ke masyarakat.

Saya simpulkan Intinya kegiatan pelatihan itu, BPMP Sulteng sedang mempersiapkan SDMnya untuk juga bisa “merebut” perhatian publik melalui produksi tulisan, konten yang akan diposting di berbagai platform media sosial dan website mereka.

Dari situ saya berpendapat, apa yang dilakukan BPMP Sulteng dengan membuat pelatihan adalah menjawab tantangan keberadaan digitalisasi internet bahwa saat ini semua orang, lembaga bisa membuat “media sendiri”. Kemudahan-kemudahaan digital saat ini dijawab dengan ikut mempersipkan SDM untuk mengisi media yang sudah disediakan.

Reformasi Memicu Munculnya Media Online

Jika kita flashback di era tahun 90-an ketika media hanya bisa diakses melalui media cetak koran, majalah, televisi dan radio, tidak semua orang bisa membuat media, selain biaya yang sangat mahal, SDM juga sangat terbatas.

Keberadaan digital media internet yang semakin pesat dan masif saat ini digunakan seakan menjadikan Media Sosial dan Media Pers sedang berebut perhatian maupun kepercayaan publik untuk menjadi pilihan informasi yang publik butuhkan.

Saya juga sudah menonton wawancara di kanal Youtube Jaya Suprana yang diketahui merupakan CEO Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) yang juga pewarta berita tv sedang mewawancara Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Teguh Santoso yang juga pendiri Kantor Berita Politik Republik Merdeka atau RMOL.

Teguh Santoso, menjelaskan di era reformasi Indonesia dimana era keterbukaan informasi, keterbukaan berpendapat dianggap sebagai era dimana semua orang bisa berpendapat dengan bebas, ada beberapa media pers online bermunculan salah satunya saat itu adalah detik.com.

Ada beberapa media online lain yang dikelola beberapa perusahaan juga muncul tapi tidak bertahan lama, karena saat itu industri media online belum memiliki pasar menjanjikan. Detik.com bertahan karena awalnya didirikan detik.com tidak membutuhkan biaya yang besar, karena tujuannya memberikan informasi berita berbasis internet kepada publik. Saat itupun pengguna internet masih sangat terbatas pada kantor-kantor yang menggunakan akses internet kantor dan pada warung-warung internet.

Di tahun 2012, komunitas Pers melalui Dewan Pers membuat aturan uji kompetensi wartawan dan verifikasi media tempat wartawan bekerja yang awalnya diharapkan bisa membangun ekosistem Pers yang sehat dan profesional menuju produk jurnalis berkualitas.

Uji kompetensi wartawan atau jurnalis dan verifikasi media Pers diharapkan bisa menyaring produk jurnalis berkualitas dan bertanggungjawab, sehingga publik bisa membedakan produk jurnalisme yang bertanggungjawab dan produk informasi yang dibuat sekadar untuk tujuan tidak bertanggungjawab, seperti penyebaran berita bohong, hoax, provokasi dan sejenisnya.

Berkembangnya waktu, bersinergi dengan berkembangnya teknologi digital, dimana akses internet bisa diakses melalui gawai dan sejenisnya dimana pun berada.

Puncaknya saat Pandemi Covid-19, seluruh manusia dipaksa menggunakan digital internet untuk mendukung pekerjaan, bisnis, akses informasi dan pada akhirnya kini berlanjut menjadi sebuah kebutuhan yang tak terelakkan.

Bersamaan dengan itu munculnya tsunami informasi yang masif disajikan media pers online dan media sosial seakan menjadi “monster” yang menjadi ancaman serius akan mendepak media berbasis konvensional seperti, koran, majalah, tv dan radio.

Pada akhirnya beberapa perusahaan media cetak ternama di Indonesia terpaksa tutup dan banyak juga yang beralih ke media pers online/ portal berita website.

Munculnya media sosial yang makin membuat pengguna internet menjadi termanjakan postingan-postingan informasi yang berseliwiran di berbagai platform media sosial.

Bahkan warga pengguna internet (warga net/ netizen) seperti sedang membuat media sendiri, memposting setiap kegiatan, kejadian apapun yang terjadi di masyarakat.

Seakan kerja-kerja pengiat jurnalis saat ini sedang “direbut” oleh netizen.

Bahkan ada yang memanfaatkan flatform media sosial sebagai media publikasi seperti halnya media pers, memberi nama akun Medsos yang mirip-mirip dengan nama media pers.

Tidak sedikit akun media sosial yang menyajikan informasi baik berupa postingan kejadian langsung maupun sekadar dikutip/ repost dari akun lain kini memiliki banyak follower dan menjadi referensi informasi digital bagi masyarakat.

Sejumlah media pers online berbasis website pun kini mensingkronkan media portal beritanya dengan official media sosial seperti, Instagram, Facebook, TikTok dan X (Twitter) untuk mengimbangi agar publik bisa membedakan antar media pers online dan keberadaan akun Medsos yang seolah-olah juga menyajikan informasi produk jurnalisme.

Kini Publik Sulit Membedakan Media Pers & Medsos

Kebetulan saya diajak dalam kepanitian sebuah pagelaran seni dan budaya di Kota Palu. Saat itu saya diminta menjadi koordinator bagian publikasi dan media sosial.

Dalam beberapa pertemuan dan pembahasan beberapa orang di dalam kepanitian itu ternyata tidak bisa membedakan media pers dan media medsos.

Yang dipahami kebanyakan orang saat ini, apa yang terpublish di media sosial itu sama saja dengan produk jurnalis yang selama ini diproduksi jurnalis.

Singkatnya kesepakatan panitia untuk memviralkan kegiatan tersebut maka dibutuhkan sebuah untuk memposting kegiatan dengan menggunakan akun Medsos Instagram dengan jumlah follower terbanyak.

Ketika diuraikan biaya publikasi di medsos yang dipilih itu, saya cukup kaget untuk sekali publikasi tarifnya adalah Rp 2,5 juta.

Tarif itu sama halnya dengan ketika penerbitan satu berita dan satu foto di media cetak koran untuk halaman full berwarna.

Nilai Rp 2,5 juta itu untuk liputan sekali tayang di media tv lokal pun tidak semahal itu.

Di sesi lain saya mendapat informasi yang mungkin masih perlu dikonfirmasi kebenarannya.

Informasinya ada sebuah akun Medsos berbasis di Kota Palu yang memiliki follower banyak mungkin hingga ratusan ribu pengikut mendapatkan kerjasama publikasi salah satu calon kandidat yang disebut-sebut akan maju Pilkada Sulteng dengan nilai mencapai Rp 100 juta.

Beberapa rekan jurnalis yang mendengar informasi itu tentu kaget, karena tidak menyangka kebutuhan publik saat ini untuk mempublikasikan produk maupun kegiatannya telah bergeser dari media pers ke media sosial.

“Sekarang ini orang semua lihat postingan di media sosial, jadi kalau mau kegiatan atau promo produk lebih cepat ke Medsos yang banyak followernya,” kata seorang pengusaha UMKM di Kota Palu.

Kondisi perubahan pola kebutuhan publik untuk mendapatkan dan menyebarluaskan informasi kekinian menjadi tantangan bagi industri media Pers, jurnalisme bahwa tantangan saat ini adalah bagaimana media pers menciptakan kepercayaan publik sebagai media yang menjalankan tugas-tugas jurnalisme yang bertanggungjawab.

Kehadiran media sosial adalah sebuah keniscayaan, dengan hadirnya akun-akun media sosial yang menyajikan informasi yang dibutuhkan publik menjadikannya sebagai akun media sosial yang dianggap bisa memenuhi kebutuhan publik.

Industri publikasi melalui akun media sosial menjadikan potensi bisnis baru dalam bidang publikasi yang sementara saat ini juga dibutuhkan publik, baik untuk mendapatkan informasi maupun ingin menyebarluaskan kegiatan, produk maupun pencitraan bagi calon-calon kandidat politisi.

Selamat datang di era new media dimana publik harus memilih mendapatkan informasi, menyampaikan publikasi apakah di media pers atau di akun media sosial yang sama-sama dikelola profesional namun berbeda pola.

Saatnya ini media pers dan akun media sosial sedang berupaya saling “merebut” perhatian atau juga kepecayaan publik. (*)

 

Oleh : Rony Sandhi / salah satu penggiat jurnalis di Kota Palu